BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 24 Juni 2009

PEMANFAATAN SINAR MATAHARI
SEBAGAI PANEL SURYA DI NAGARA

Pada hari kamis tanggal 5 Juni 2009 kami mahasiswa FMIPA UNLAM PROGRAM STUDI FISIKA mengadakan observasi di Nagara dan di Loksado sehubungan dengan adanya praktikum ekologi lahan basah. Ekologi lahan basah adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara makhluk hidup yang berhabitat dilahan basah tersebut. Nagara merupakan suatu ibu kota kecamatan yang ada di kabupaten Hulu Sungai Selatan, wilayah dari Nagara hampir seluruhnya adalah lahan rawa. Rawa yang terdapat di Nagara adalah salah satu cekungan dari sungai barito.

Dari hasil wawancara yang kami lakukan kepada masyarakat sekitar sungai Nagara bahwa fungsi sungai Negara adalah sebagai pencegah luapan dari sungai – sungai di kawasan Meratus yang bermuara di sungai Barito, selain itu sungai ini juga berfungsi sebagai sumber pencarian bagi masyarakat sekitar seperti mencari ikan. Disamping itu para penduduk sekitar juga bertani, berkebun, dan membuat kerajinan rumah tangga dan peralatan bertani.

Dari observasi di Nagara, daerah ini merupakan daerah banjir karena fungsi dari rawa nagara adalah menghambat banjir dari luapan sungai-sungai kawasan daerah tangkapan air meratus yang menuju muarai sungai barito,sehingga air sungai terkumpul di sungai nagara. Organisme yang tinggal disana memiliki hubungan antar organisme dengan lingkungan nya.Banyak sekali flora dan fauna yang tinggal di daerah tersebut,dari observasi flora yang lebih banyak adalah eceng gondok,eceng gondok sendiri belum secara maksimal di manfaatkan oleh penduduk sekitar,mereka kadang-kadang membuat eceng gondok sebagai pupuk namun kebanyakan nya eceng gondok di bakar agar tidak mengganggu transportasi sungai.

Untuk fauna yang berada di kawasan rawa tersebut adalah kerbau dan ikan,untuk kerbau penduduk membuat kandang di tengah sungai,alasan mereka membuat kandang disungai karena daerah tersebut kebanyakan nya daerah rawa,sedangkan daratan digunakan untuk perumahan penduduk,untuk pemanfaatan fauna sudah haampir maksimal,karena banyak penduduk yang mencari ikan dan menjual nya. Namun yang menjadi permasalahan adalah kandang kerbau diatas sungai sehingga kotoron kerbau jatuh ke sungai dan mecemari sungai,padahal air sungai digunakan penduduk untuk MCK dan keperluan lain sehari-hari yang menggunakan air.Padahal di nagara sudah tersedia air PDAM namun warga sangat jarang menggunakan nya dengan alasan menghemat biaya.

Selain itu juga sinar matahari di Nagara dapat dimanfaatkan sebagai panel surya. Panel surya tersebut dap[at digunakan sebagai penerangan oleh penduduk disekitarnya apabila terjadi pemadaman listrik. Sinar matahari bisa menjadi energi alternatif pengganti BBM yaitu panel surya. Panel surya biasanya dipasang di atas atap rumah berupa lempengan-lempengan penangkap sinar matahari. Bagaimana sebenarnya cara kerja panel surya ini dan apa keuntungannya?

Ada dua jenis panel surya, satu disebut panel listrik dan satu lagi panel penghangat. Dengan panel penghangat, sinar matahari bisa diubah menjadi energi panas untuk menghasilkan air hangat. Air panas sangatlah penting bagi keseharian masyarakat. Jenis panel yang kedua, panel listrik, mengubah sinar matahari menjadi listrik. Listrik bisa dipakai untuk rumah tangga sendiri atau dijual ke jaringan listrik yang ada. Panel surya terdiri dari beberapa sel yang disebut sel surya. Sel ini terbuat dari sejenis pasir yang disebut, selicium. Sel-sel itu menangkap sinar matahari dan menghasilkan percikan-percikan listrik,. Tapi, listrik itu belum bisa langsung dipakai. Di bawah setiap sel ada sebuah alat yang dipakai untuk mengubah percikan itu menjadi listrik yang bisa dipakai untuk rumah tangga. Pemakai bisa menentukan sendiri berapa banyak panel surya yang ingin dipasang. Setiap panel yang dipasang berarti pengurangan rekening listrik. "Semakin banyak anda memasang panel semakin banyak pula listrik yang dihasilkan. Berarti semakin sedikit anda bayar listrik yang berasal dari jaringan biasa", Panel surya adalah sebuah investasi yang cukup mahal. Biaya untuk satu panel berkisar antara 3500 Euro, sekitar 50 juta Rupiah, sampai 20 ribu Euro atau lebih dari 200 juta Rupiah. Sekali pasang, panel surya tidak membutuhkan perawatan khusus, hanya beberapa suku cadang yang harus diganti. Panel bisa dipakai 20 sampai 30 tahun.

Keuntungan Panel surya adalah alternatif tepat guna mendukung upaya reduksi CO2. Dibandingkan dengan alternatif lain, contohnya kincir angin, panel surya lebih menguntungkan karena lebih murah. Sistem panel surya sangat sederhana dan mudah diinstalasi. Selain itu, sistem ini tidak memakan banyak tempat.

Keuntungan lain tentunya penghematan rekening listrik. Satu panel bisa menghemat 15 persen pemakaian listrik sebuah keluarga yang terdiri dari empat atau lima orang. Jadi, semakin banyak panel, akan semakin sedikit listrik yang harus dibeli dari jaringan listrik biasa. Anda bahkan bisa mandiri, menghasilkan listrik sendiri. Tentunya, dengan syarat harus lebih banyak berinvestasi. Bukannya tidak mungkin di masa depan, setiap rumah akan dipasang panel surya.

Senin, 22 Juni 2009

TUGAS MID PLLB

Curah hujan rata-rata tahunan di Meratus 100 M liter per bulan, 80% menjadi air larian dan masuk ke berbagai sungai, di antaranya 1.800.000 liter per tahun mengalir melalui sungai Riam Kiwa. Namun dari sungai ini hanya mampu mengairi 100 hektar lahan dengan masing-masing 9000 liter per tahun. Sisanya kembali terevaporasi dan evapotranspirasi. Dengan asumsi yang sama berapakah peranan vegetasi dalam melakukan evapotranspirasi pada lima sungai lainnya, yakni, sungai Riam Kanan, sungai Amandit, sungai Batang Alai, sungai Alabio dan sungai Tabalong jika perbandingan debit airnya sepanjang tahun 1 : 1 : 1 : 1 : 1. Tentukan pula total evapotranspirasi dan evaporasinya jika perbandingannya 1 : 2.

ASUMSI DARI SOAL TERSEBUT

Pada penerangan awal diberi tahu bahwa curah hujan rata-rata tahunan di Meratus 100 M liter (100.000.000 liter) per bulan, yang artinya dalam setahun curan hujan rata-ratanya adalah:

(100.000.000 liter/bulan) x (12 bulan) = 1.200.000.000 liter/tahun

Keterangan berikutnya menyebutkan bahwa 80% dari curah hujan tersebut menjadi air larian dan masuk ke berbagai sungai:

80% dari 1.200.000.000 = 960.000.000 liter/tahun

Diantara air tersebut mengalir ke sungai Riam Kiwa sebanyak 1.800.000 liter. Dilanjutkan pada keterangan berikutnya, bahwa sungai tersebut hanya mampu mengairi 100 hektar lahan masing-masing 9.000 liter, saya mengasumsikan totalnya menjadi 900.000 liter (100 x 9.000 liter).

Jika demikian, maka air yang mengalami evaporasi dan evapotranspirasi adalah sisanya:

Evaporasi dan evapotranspirasi = Air yang melalui Riam Kiwa – air untuk

mengairi 100 hektar lahan

= 1.800.000 – 900.000

= 900.000 liter

Dijelaskan bahwa dengan asumsi yang sama vegetasi berperan dalam evapotranspirasi pada lima sungai lainnya, yakni, sungai Riam Kanan, sungai Amandit, sungai Batang Alai, sungai Alabio dan sungai Tabalong, di mana perbandingan debit airnya sepanjang tahun 1 : 1 : 1 : 1 : 1.

Menurut pandangan saya, jika halnya demikian maka debit air yang mengalir di setiap sungai pada setiap tahunnya adalah sama yaitu 1.800.000 liter/tahun, dengan 900.000 liter/tahun digunakan untuk mengairi pertanian. Maka sisa air yang berevaporasi dan evapotranspirasi pun adalah sama 900.000 liter/tahun. Jadi, total evapotranspirasi dan evaporasi yang terjadi adalah 900.000 liter/tahun.

Perbandingan antara evapotranspirasi dan evaporasi adalah 1 : 2, maka:

Evapotranspirasi = (1/3) x 900.000 = 300.000 liter/tahun

Evaporasi = (2/3) x 900.000 = 600.000 liter/tahun

Peranan vegetasi dalam berevapotranspirasi pada setiap sungai adalah 300.000 liter/tahun.

Kesimpulannya menurut saya, bahwa keterangan-keterangan lain yang terdapat pada bagian awal soal hanyalah sebagai pengecoh belaka. Cukup dengan mengetahui debit air yang mengalir pada sungai Riam Kiwa dan pengunaannya pada lahan.

MENGELOLA DAERAH ALIRAN SUNGAI

Semua aktivitas manusia di darat berlangsung di dalam suatu wilayah yang disebut Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu wilayah daratan yang dibatasi oleh pemisah topografis berupa punggung bukit yang menerima air hujan dan mengalirkannya ke hilir dan bermuara ke laut. DAS terdiri dari beberapa sub-DAS yang merupakan suatu anak sungai yang bermuara ke waduk, dam, danau atau sungai. Sub DAS ini sering juga disebut sebagai Daerah Tangkapan Air atau Catchment Area. Peristiwa banjir dan tanah longsor yang diberitakan media masa, terjadi pada suatu kawasan yang disebut DAS tersebut. Banyak orang menghubungkan peristiwa banjir dan tanah longsor dengan illegal logging. Ada juga yang menyebut akibat saluran dan sungai tidak normal, sungai tidak mampu menampung aliran permukaan karena penuh sampah, daerah bantaran sungai dan daerah resapan dipakai sebagai permukiman. Banjir dan tanah longsor selalu menjadi berita besar karena merugikan dan menyengsarakan penduduk yang tinggal atau menghuni di daerah rendah atau bantaran sungai suatu Sub DAS. Fakta menunjukkan tahun 1955 sungai Batanghari banjir menggenangi daerah Jambi, padahal saat itu hutan di
sana masih utuh. Tetapi, karena penduduk waktu itu masih jarang, banjir tidak menjadi masalah serius. Kini penduduk makin padat dan menghuni daerah
bantaran, daerah rendah dan daerah curam. Sedikit saja banjir timbullah masalah sosial serius; tanah longsor yang menelan korban.

Tata Guna Lahan

Mengapa banjir dan tanah longsor terjadi? Di dalam DAS penggunaan lahan dibedakan atas:

a) Hutan, biasanya berada di hulu,

b) Kawasan budidaya, perkebunan,petanian,

c) Pemukiman, d) Rawa, waduk atau danau, bantaran sungai,

e) Lahan industri, danlain lain. Air hujan yang turun dalam kawasan DAS akan mengalami beberapa kejadian yang berbeda.

Pertama, air hujan yang jatuh di kawasan hutan akan menjadi uap kembali (eveporasi), mengalir urut batang (stemflow) turun ke tanah atau jatuh langsung dari dahan, ranting dan daun langsung ke tanah. Karena pada umumnya lapisan permukaan tanah hutan terdiri dari bahan organik (horizon O) yang berasal dari dekomposisi bahan tanaman, maka air yang sampai ke tanah akan mudah diresapkan ke dalam tanah. Air yang jatuh ke tanah akan ditahan oleh lapisan tumbuhan bawah, berupa semak dan perdu, serta lapisan humus sehingga sedikit merusak partikel tanah.

Kedua, lahan pertanian biasanya intensip digarap, disiangi, dipupuk sehingga tanaman bawah bersih. Akibatnya air hujan yang jatuh ke tanah dapat langsung mencerai-beraikan partikel tanah di permukaan lahan dan terjadi erosi. Hujan yang jatuh langsung dari langit ke permukaan lahan akan mencerai-beraikan partikel tanah dengan energi yang lebih besar sehingga erosinya akan makin besar.

Apalagi saat menjelang musim tanam, lahan biasanya dibersihkan sehingga saat hujan datang tetapi tanaman belum mampu melindungi tanah maka erosi akan terjadi. Air yang meresap ke dalam tanah lebih sedikit dari pada yang mengalir sebagai aliran permukaan tanah (run-off) yang mampu menyebabkan erosi dan mengalir ke sungai bersama sedimen yang terangkut.

Tanaman keras perkebunan berfungsi sama atau hamper sama dengan tanaman hutan. Karena di bawah tegakan terdapat tanaman penutup tanah yang mampu menahan pukulan air hujan. Air yang jatuh ke tanah akan meresap ke dalam tanah. Demikian pula aliran permukaan dihambat oleh tanaman penutup, sisanya masuk ke
sungai. Volume run-off dihambat oleh tegakan tanaman perkebunan, demikian pula sedimennya.

Ketiga, pemukiman terutama di pekotaan sebagian besar terdiri dari bangunan kedap air; atap, halaman beton, jalanan aspal, saluran beton, sehingga air tidak diberi kesempatan meresap ke dalam tanah. Akibatnya hampir semua air hujan mengalir ke sungai utama dan berakhir ke laut, waduk, dan atau danau, termasuk semua bentuk limbah yang diangkut. Makin luas atau makin besar persentasi kawasan pemukiman dari suatu DAS maka makin besar air yang masuk ke sungai dan berpotensi menambah volume air sungai dan menimbulkan banjir di musim penghujan. Meskipun demikian erosi di kawasan pemukiman di perkotaan relatif lebih kecil
dibanding dengan pedesaan atau kawasan budidaya.

Keempat, air hujan yang jatuh ke permukaan air di waduk, danau, dam, atau sungai akan menambah langsung volume air yang tercermin dengan naiknya permukaan air. Secara langsung tidak menyebabkan erosi, tetapi kalau air tersebut mengalir maka kecepatan aliran akan dapat mengikis dinding/tebing saluran/badan air dan mengangkutnya ke hilir.

Bantaran sungai (flood plain) merupakan kawasan cadangan aliran sungai. Dalam keadaan aliran air melebihi normal, maka aliran air akan memenuhi bantaran sungai. Dalam keadaan curah hujan yang luar biasa besar (siklus 50 tahunan atau lebih), air akan melimpah ke daerah rendah di sekitar bantaran sungai, padahal bantaran sungai tidak diperuntukkan bagi pemukiman. Ingat tahun 1955, daerah Jambi mengalami banjir besar meskipun penduduk belum banyak dan hutan masih utuh. Demikian pula Bengawan Solo meluap tahun 1966 mengakibatkan banyak kota, termasuk Solo, tergenang.

Banjir, erosi, tanah longsor dan kekeringan menjadi masalah serius yang dihadapi oleh masyarakat dan Pemerintah. Beberapa daerah tergenang air, tanah longsor, banjir lumpur, jalur jalan putus, dan rakyat perkampungan terisolasi pada musim penghujan terberitakan di berbagai media masa. Pada musim kemarau, media masa memuat berita rakyat kekurangan air bersih, beribu-ribu hektar tanaman padi puso kekurangan air, pembangkit listrik tenaga air menurun kapasitasnya, waduk dan saluran pengairan kering. Jika suatu daerah terancam gagal panen, kekurangan pangan mengancam wilayah lainnya, dan stock pangan Bulog terancam tak terpenuhi karena gagal panen, sehingga harus impor. Kejadian ekstrim yang silih berganti antara musim kemarau dan penghujan .

Meskipun merupakan fenomena biasa, sebenarnya kedua kejadian itu adalah akibat kegiatan manusia yang meningkat dalam mengeksploitasi sumber daya alam. Eksploitasi tanpa memperhatikan kelestarian akan mengganggu keseimbangan alam, menyebabkan bencana bagi manusia. Kerusakan tersebut semestinya dapat dicegah. Bagi yang belum terlanjur rusak harus kita cegah terjadinya kerusakan. Bagi yang sudah terlanjur rusak harus kita perbaiki atau kita rehabilitasi agar pulih atau mendekati seperti sebelum rusak.

MENGUKUR KOORDINAT DANAU BAIKAL


Danau Baikal adalah danau terdalam dan tertua di dunia dan terbanyak (dalam isi) air tawarnya di Bumi. Danau ini berisi lebih dari 20% air tawar dunia dan lebih dari 90% air tawar Russia. Danau ini merupakan situs warisan dunia yang terletak di selatan Siberia di Russia, antara Oblast Irkutsk di barat laut dan Buryatia di tenggara, dekat kota Irkutsk.
Koordinat Danau Baikal : 52o45’ LU 107o15’ BT

Jenis Danau : Danau Kontinental

Aliran masuk utama ; Selenga

Chikoy

Khiloh

Uda

Barguzin

Upper Angara

Aliran keluar utama : Sungai Angara

Daerah pengumpulan air : 560,000 km2 (347,968 mi²)

Terletak di Negara : Russia

Panjang maks : 636 kilometer (395 mi)

Lebar maks : 80 kilometer (50 mi)

Luas permukaan ; 31,494 km2 (19,569 mi²)

Kedalaman rata-rata ; 758 meter (2,487 kaki)

Kedalaman maks ; 1637 meter (5369 kaki)

Volume air ; 23,600 km3 (5,521 mi³)

Panjang tepi danau1 : 2.100 kilometer (1,305 mi)

Ketinggian permukaan : 456 meter (1,496 kaki)

Pulau : 22

Tempal tinggal : Irkutsk


Secara geografis wilayah ini membentang 2.800 mil dari barat ke timur, dimulai dari Pegunungan Ural ke Lautan Pasifik. Dari selatan ke utara sejauh 2000 mil, dari perbatasan Kazakhstan, Mongolia and China ke Arctic Ocean. Hampir semua wilayah Siberia terletak di utara garis 50 derajat lintang utara sampai ke Artic Circle. Karena merupakan daratan yang luas, temperatur udara menjadi sangat ekstrem, saat musim dingin akan berkisar minus 30-40oC, (Verkhoyansk dan Oymyakon, dikenal sebagai tempat terdingin di hemisfer utara, dengan suhu udara terendah -71oC), dan musim panas berkisar 34oC.

Central Siberia, morfologi yang bergunung-gunung dengan ketinggian sekitar 2000 kaki dan drainage yang bagus, menjadikan hutan conifer menjadi lebih lebat dan menerus yang di dominasi oleh larch. Daerah bergunung ini berakhir di sebelah tenggara Central Siberia dan bertemu dengan Danau Baikal. Danau dengan panjang 400 mil dan lebar 30 mil, merupakan danau terdalam di dunia, muara dari 300 sungai.


LAHAN BASAH RAWA

DI KALIMANTAN SELATAN

Pengertian lahan basah adalah lahan yang secara alami atau buatan selalu tergenang, baik secara terus-menerus ataupun musiman, dengan air yang diam ataupun mengalir. Air yang menggenangi lahan basah dapat berupa air tawar, payau dan asin. Tinggi muka air laut yang menggenangi lahan basah yang terdapat di pinggir laut tidak lebih dari 6 meter pada kondisi surut.

Kalimantan selatan merupakan provinsi yang dijuluki dangan kota seribu sungai, karena banyak sungai yang mengaliri daerah-daerah di Kalimantan selatan. Sehingga kawasan lahan basah di daerah ini cukup luas.

Sebagian besar kondisi tanah di Kalimantan Selatan adalah lahan basah atau lahan gambut. Artinya, daerah Kalimantan selatan merupakan kawasan rawa terbesar karena tergenang air, baik secara musiman maupun permanen dan banyak ditumbuhi vegetasi sehingga secara umum kondisi lahan basah memiliki tekstur, sifat fisik dan kimia yang khas.

Luas lahan basah di Kalimantan Selatan mencapai 382.272 ha. Lahan basah di Kalimantan Selatan merupakan daerah cekungan pada dataran rendah yang pada musim penghujan tergenang tinggi oleh air luapan dari sungai atau kumpulan air hujan, pada musim kemarau airnya menjadi kering.

Lahan basah sangat unik dan memiliki kepentingan ekologis yang luas, mulai tingkat lokal hingga global. Lahan basah bisa diberdayakan secara produktif bagi ekonomi lokal, sumbangannya terhadap keakekaragaman hayati juga sangat signifikan. Ribuan jenis tanaman unik dan unggas khas yang bermigrasi biasanya singgah di kawasan lahan basah.

Rawa adalah lahan genangan air secara ilmiah yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisika, kimiawi dan biologis.

Luas wilayah hutan daratan memang semakin menyempit, harapan alternatif bangsa ini ada pada lebih dari dua puluh tiga juta hektar hutan perairan, hutan rawa (bakau). Rawa sebagai tanah yang rendah (umumnya di daerah pantai) dan digenangi air, yang tak jarang terdapat tumbuhan air di wilayah genangan air tersebut, bakau (Rhizophora mucronata) contohnya. Ini menjadi harapan alternatif ketika luas hutan di daratan semakin menyempit dengan segala potensi alamnya yang semakin menipis.
Karena biodiversitas yang ada pada hutan rawa tidak kalah dibandingkan dengan biodiversitas di hutan daratan. Keanekaragaman hayati atau biodiversitas bukanlah sekedar angka yang menunjukkan kekayaan jenis tumbuhan, hewan dan mikroorganisme, tetapi lebih luas mencakup variasi, variabilitas dan keunikan genetik (gene), jenis (spesies) dan ekosistemnya.

Beragamnya agroekologi lahan rawa menyebabkan beragamnya keanekaragaman hayati termasuk flora dan memungkinkan tumbuhnya berbagai jenis tanaman, baik tanaman pangan, tanaman buah-buahan maupun tanaman obat-obatan. Hutan yang digenangi air bersifat musiman ataupun permanen ini memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Jenis flora yang sering terlihat memenuhi hutan perairan ini seperti ramin (Gonystylus sp), terentang (Camnosperma sp.), durian burung (Durio carinatus), kayu putih (Melaleuca sp), sagu (Metroxylon sp), pandan, palem-paleman, rotan dan berbagai jenis lainnya.

Sedangkan faunanya yang tidak jauh berbeda dengan yang ada pada hutan di darat, seperti harimau (Panthera tigris), rusa (Cervus unicolor), buaya (Crocodylus porosus), Orang utan (Pongo pygmaeus), babi hutan (Sus scrofa), badak, musang air, gajah dan berbagai jenis ikan.

Jenis hutan rawa gambut pun menjadi hutan pilihan bagi beragam fauna karena daerah hutan perairan ini terbentuk dari sisa-sisa hewan dan tumbuhan yang proses penguraiannya sangat lambat sehingga tanah gambut memiliki kandungan bahan organik yang sangat tinggi.

Yang belum maksimal dimanfaatkan adalah jenis rawa tanpa hutan yang merupakan bagian dari ekosistem rawa hutan. Ini disebabkan karena rawa ini hanya ditumbuhi tumbuhan kecil seperti semak dan rumput liar. Berdasarkan sejarah, sudah sejak dulu hutan rawa menjadi penyedia berbagai keperluan hidup bagi berbagai masyarakat lokal.

Selain itu, sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, hutan rawa menyediakan berbagai jenis sumber daya sebagai bahan baku industri dan berbagai komoditas perdagangan yang bernilai ekonomis tinggi yang dapat menambah devisa negara. Dapat dikatakan secara garis besar, manfaat ekonomis hutan rawa seperti hasil berupa kayu (kayu konstruksi, tiang/pancang, kayu bakar, arang, serpihan kayu (chips) untuk bubur kayu), sedangkan hasil bukan kayunya berupa hasil hutan ikutan (tannin, madu, alkohol, makanan, obat-obatan) maupun jasa lingkungan (ekowisata).
Di sisi lain manfaat ekologis yang dapat digunakan oleh masyarakat sekitarnya sebagai pelindung lingkungan, baik bagi lingkungan ekosistem daratan, lautan maupun sebagai habitat berbagai jenis fauna, ini karena hutan rawa mampu memproteksi dari abrasi, gelombang atau angin kencang, mengendalikan intrusi air laut, sebagai habitat berbagai jenis fauna, sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya, sebagai pembangunan lahan melalui proses sedimentasi, mampu memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air) hingga sebagai penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibandingkan tipe hutan lain.

Selain sebagai sumber cadangan air, hutan rawa dapat menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya dan akan mengeluarkan cadangan air tersebut pada saat daerah sekitarnya kering atau dengan kata lain banjir dapat dicegah, intrusi air laut ke dalam air tanah dan sungai pun dapat dihindari. Karena hutan rawa dapat dijadikan sebagai sumber bahan makanan nabati dan hewani maka tak jarang keberadaan hutan perairan yang kaya akan flora dan fauna tersebut dimanfaatkan sebagai sumber mata pencaharian penduduk sekitarnya. Topografi hutan rawa umumnya datar yang dicirikan oleh sifat hidrologi yang dipengaruhi oleh diurnal pasang surut, yang dikenal sebagai lahan rawa pasang surut, atau tergenang melebihi 3 bulan yang dikenal sebagai lahan rawa lebak.

Jelas fungsi hutan rawa dari sudut ekologis menjadi suatu ekosistem yang unik. Alasannya, di kawasan hutan rawa terpadu empat unsur biologis yang penting, antara lain daratan, pepohonan, fauna serta ekosistem itu sendiri. Sehingga, pengelolaan potensi hutan seperti ini harus tepat dan rasional agar fungsi ekologis dan ekonomisnya dapat dimanfaatkan secara maksimal.

Beberapa justifikasi untuk mengelola ekosistem hutan rawa secara berkelanjutan adalah hutan perpaduan antara daratan dan lautan ini merupakan SDA yang dapat dipulihkan –renewable resources atau flow resources yang mempunyai manfaat ganda (manfaat ekonomis dan ekologis). Hutan rawa mempunyai nilai produksi primer bersih yang tinggi. Bagaimana tidak, hutan rawa ternyata mampu menghasilkan energi alternatif biomassa (62,9-398,8 ton per ha), guguran serasah (5,8-25,8 ton/ha/th) dan tiap volume (20 ton/ha/th, 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun). Besarnya nilai produksi primer ini cukup berarti bagi penggerak rantai pangan kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan kehidupan masyarakat pesisir itu sendiri.

Hutan rawa luasnya relatif kecil bila dibandingkan luas hutan daratan maupun luasan tipe hutan lainnya, tapi manfaat (ekonomis dan ekologis) sangatlah penting bagi kelangsungan kehidupan masyarakat (khususnya masyarakat pesisir). Sedangkan, dipihak lain, ekosistem hutan rawa bersifat rentan (fragile) terhadap gangguan dan cukup sulit untuk merehabilitasi kerusakannya.

Ekosistem hutan rawa, baik secara sendiri maupun bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang di dalamnya berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun biologis. Dan yang pasti ekosistem di hutan rawa merupakan sumber yang kaya akan plasma nutfah yang saat ini sebagaian besar manfaatnya belum tereksplorasi.

Selain ancaman langsung pembangunan, ternyata sumber daya hutan rawa rentan terhadap aktivitas pembangunan yang terdapat jauh dari habitatnya. Ancaman dari luar tersebut yang sangat serius berasal dari pengelolaan daerah aliran sungai yang serampangan dan meningkatnya pencemaran hasil industri dan domestik (rumah tangga) yang masuk ke dalam daur hidrologi.

Dampak buruk yang terjadi dari erosi tanah yang parah dan meningkatnya kuantitas serta kecepatan sedimen endapan di lingkungan hutan rawa adalah kematian masal (dieback) bakau yang tidak terhindarkan lagi karena lentiselnya tersumbat oleh sedimen tersebut.

Pada umumnya jenis-jenis bakau dimanfaatkan secara lokal untuk kayu bakar dan bahan bangunan lokal. Komoditas utama kayu bakau untuk diperdagangkan secara internasional adalah arang yang berasal dari Rhizophora sp., yang mempunyai nilai kalori sangat tinggi.

Melihat wacana masyarakat yang berkembang, ancaman yang paling serius bagi hutan rawa adalah persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai pemerintah yang menganggap bakau merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain. Sebagian besar pendapat untuk mengkonversi bakau berasal dari pemikiran bahwa lahan bakau jauh lebih berguna bagi individu, perusahaan dan pemerintah daripada sebagai lahan yang berfungsi secara ekologi.
Apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan hutan rawa dan juga bakau akan menjadi sangat suram. Agar rakyat tetap mampu menjadikan hutan rawa sebagai sumber mata pencahariannya, maka perlu pengelolaan ekosistem hutan rawa secara berkelanjutan. Dasar yang dapat dijadikan pijakan dalam pengelolaan SDA hutan rawa secara berkelanjutan adalah karena pengelolaan SDA hutan rawa mempunyai tujuan utama untuk menciptakan ekosistem yang produktif dan berkelanjutan untuk menopang berbagai kebutuhan pengelolaannya.
Agar terciptanya ekosistem yang produktif maka pengelolaan SDA hutan rawa harus diarahkan pada kegiatan eksploitasi dan pembinaan yang tujuannya mengusahakan agar penurunan daya produksi alam akibat tindakan eksploitasi dapat diimbangi dengan tindakan peremajaan dan pembinaan. Sehingga manfaat yang diperoleh dapat maksimal dan tentunya secara terus menerus. Karena dalam pengelolaan hutan rawa yang berkelanjutan, pertimbangan ekologi dan ekonomi harus seimbang.

Oleh karena itu pemanfaatan berbagai jenis produk yang diinginkan oleh pengelola dapat dicapai dengan mempertahankan kelestarian SDA tersebut dan lingkungannya. Dengan demikian secara filosofis, pengelolaan SDA hutan rawa yang berkelanjutan jelas untuk memenuhi kebutuhan saat ini dengan tanpa mengabaikan pemenuhan kebutuhan bagi generasi yang akan datang, baik dari segi keberlanjutan hasil maupun fungsi, karena telah hidup berjuta asa di hutan rawa.